Kamis, 01 Desember 2016

Perjalanan panjang P.o EKA - MIRA

Sejarah PO.Eka-Mira berasal dari sebuah toko kain yang berada di Jl Mojopahit No. 188 Mojokerto yang dimiliki oleh Bp Fendi Haryanto,  pada sekitar tahun 1971, tercetus ide dari sang pemilik toko (Bp Fendi Haryanto ) untuk membangun bisnis transportasi masal model bis antar kota. Sesuai dengan nama tokonya nama yang dipakai adalah PO Flores.

PO Flores ini melayani trayek Antar Kota Antar Propinsi Jurusan Surabaya – Solo PP, dan selain itu juga didirikan PO Surya Agung yang melayani trayek AKDP (Antar Kota Dalam Propinsi) Jurusan Malang – Surabaya – Ponorogo/Magetan. PO ini seangkatan dengan beberapa PO lama seperti Maju Mapan, Sumber Kencono,  Surya Jaya,  Rukun Makmur, Adi Jaya, Tunggal Jaya, Hasti, Jaya Raya, Agung Express, Piala, dll, meski sebagian besar diantaranya sudah tidak beroperasi lagi karena sudah gulung tikar.

Secara signifikan PO Flores mengalami perkembangan karena image-nya sebagai bis banter. Perilaku konsumen Jatim dan sebagian Jateng yang cenderung menyukai bis-bis banter semakin membuat nama PO Flores melambung meski sebagian masyarakat menilai bis ini sebagai bis yang cenderung ugal-ugalan. Meskipun sebenarnya tidak semua armada PO Flores ugal-ugalan karena beberapa armadanya masih menggunakan mesin keluaran lama yang kemampuannya tidak sebagus mesin-mesin baru.

PO ini sempat mengoperasikan bis bumel yg mewah, dilengkapi dengan AC ( Air Conditioner ) dengan nama Surya Agung, yang seperti dijelaskan di atas bis ini melayani rute Malang – Surabaya – Madiun – Ponorogo/Magetan PP. Kala itu Surya Agung menjadi simbol bis-bis mewah, karena selalu mengguankan body dari karoseri terbaik, demikian dengan pula dengan fasilitas AC-nya yang jarang dipunyai oleh PO lain.

Di saat puncak kejayaan Flores inilah terjadi tragedi besar yang menjadi klimaks dari PO Flores, kecelakaan hebat terjadi di daerah Karang Anyar Sekitar tahun 1981. Bis yang dikemudikan Bp Marwan berisi rombongan pelajar SMP Wijana Jombang yang melakukan study tour (karya wisata) ditabrak Kereta Api yang melintas  yang merenggut banyak korban pun tak bisa dihindarkan. Imbasnya, oleh DLLAJR Pusat (sekarang Dishub) PO Flores dilarang melayani trayek AKAP (Antar Kota Antar Propinsi)  sehingga PO ini hanya beroperasi sampai dengan Mantingan (perbatasan Jatim – Jateng ). Sedangkan perjalanan PO Surya Agung tidak mengalami kendala sedikitpun dalam pengoperasiannya.

Akibat sanksi yang dibebankan oleh DLLAJR, PO Flores semakin mengalami kesulitan dalam pengoperasian armada-armadanya yang hanya melayani melayani rute Surabaya – Mantingan PP. Banyak konsumen yang lebih cenderung memilih PO lain untuk menghindari resiko dioper untuk penumpang yang bertujuan ke daerah-daerah diluar jangkauan PO Flores. Jika hal ini dibiarkan terjadi, bukan tidak mungkin PO Flores lama-kelamaan akan kolaps.

Untuk mengatasi masalah tersebut manajemen menyiapkan EKA dan MIRA untuk menggantikan Flores melayani rute Surabaya – Solo PP. Nama EKA dan MIRA diambil dari nama-nama anak dari Bp Fendi Haryanto. Keduanya dipisahkan baik secara manajemen dan juga jam keberangkatannya. PO EKA biasanya diberangkatkan dari Surabaya pada pagi sampai petang hari, sedangkan armada PO MIRA diberangkatkan sebaliknya (petang sampai pagi hari) dari Surabaya. PO Flores akhirnya difokuskan melayani Rute Surabaya – Ponorogo PP. Sedangkan PO Surya Agung tetap melayani rute Malang – Surabaya – Madiun – Ponorogo/Magetan PP.

Seperti halnya Flores, EKA-MIRA mengalami perkembangan yang menggembirakan karena respons positif dari konsumen. Bahkan seiring berjalannya waktu EKA-MIRA tumbuh menjadi PO yang besar dan keberadaannya patut diperhitungkan di jalur ini. Untuk memantapkan eksistensinya, tahun 1990 PO EKA membuat terobosan dengan meluncurkan 1 buah armada ber-livery biru yang melayani rute Surabaya – Madiun – Solo – Jogja PP menggunakan mesin Nissan Diesel CB dengan karoseri Malindo yang pada waktu itu sedang jadi tren (seperti adiputro sekarang). Namun itu tidak bertahan lama karena dalam waktu beberapa bulan bis yang dikemudikan Bp. Darno ini mengalami kecelakaan hebat yaitu menabrak truk bermuatan elpiji. Kejadian itu menewaskan sang pengemudi dari menghanguskan bis tersebut. Hal itu tidak menyurutkan langkah PO EKA-MIRA untuk tetap melanjutkan ekspansinya ke rute Surabaya – Madiun – Solo – Jogja PP. Sekitar 2 tahun kemudian semua armada PO EKA-MIRA telah melayani rute tersebut, dan mengganti warna dasar armada-armadanya yang tadinya putih menjadi abu-abu berikut dengan livery-nya.

Karena dirasa tidak lagi memberikan kontribusi maksimal dan untuk meremajakan armadanya, seluruh armada PO Flores dan PO Surya Agung sebanyak 52 unit yang seluruhnya bermesin Mitsubishi BM dijual ke PO AKAS II beserta trayek, kru dan teknisinya. Inilah akhir bakti kepada manajemen dan sekaligus akhir riwayat dari kedua PO ini. Sekitar tahun 1992 manajemen kembali membuat terobosan dengan meluncurkan PO ITA (berasal dari nama anak Ibu MIRA) yang melayani rute AKDP Surabaya – Madiun – Ponorogo PP.

Setelah lama setia menggunakan mesin Nissan Diesel CB pada tahun 1993 membeli 27 unit chasis Hino AK 176, terdiri dari 25 unit berchasis panjang dan 2 unit masih menggunakan chasis pendek. Chasis-chasis tersebut disiapkan untuk armada-armada ber-AC. EKA dan MIRA maing-masing mendapatkan bagian 10 unit armada ATB (AC Tarip Biasa), sedangkan ITA mendapatkan bagian 2 unit. Sisanya 5 unit chasis disiapkan untuk menjadi armada PATAS (sebelum menjadi CEPAT). Dari armada-armada inilah cikal bakal EKA CEPAT berasal sebagai upaya penjajakan merambah ke segmen kelas non Ekonomi.

Armada EKA CEPAT berkembang menjadi pilihan di jalurnya seiring dengan mulai digantikannya armada-armada Hino AK 176 dengan armada-armada bermesin belakang seperti Nissan Diesel RB dan Hino RK2HR. Perlahan-lahan EKA CEPAT mulai mampu menyisihkan pesaing-pesaingnya, dan menjadi pilihan utama sekaligus  pemain tunggal di jalurnya.

Demikian juga dengan armada bumelnya (EKA-MIRA) pun mulai meremajakan armada-armada lama dengan armada keluaran terbaru seperti Nissan Diesel CB dan Hino AK3HR. Terbukti dengan peremajaan yang teratur dan pelayanan terhadadap konsumen yang prima membuat PO ini tetap bertahan di tengah persaingan yang semakin keras. Banyak PO lain yang mulai berjatuhan akibat kerasnya persaingan jalur Surabaya – Madiun – Solo – Jogja seperti Tunggal Jaya, Jaya Raya, Maju Mapan, Trigaya, Jaya Utama, Mapan dll.



Namun tren positif tak berlaku pada ITA, karena pamornya yang kalah mengkilap dengan para kompetitornya. ITA akhirnya angkat koper  peta persaingan jalur Surabaya-Ponorogo  pada akhir dekade 90-an. Armada-armadanya yang sebagian besar bermesin Nissan Diesel CB banyak dibeli oleh PO Pangeran dan PO Restu.

Sekitar tahun 2007 armada bumel EKA dihapus untuk memfokuskan diri pada armada CEPAT, sedangkan armada eks bumel EKA digabungkan ke MIRA. Hal ini semakin mempermudah konsumen PO ini untuk membedakan antara armada Eksekutif/CEPAT (EKA) dan armada Bumel (MIRA) dalam memilih karena orientasi segmen pasar yang sudah dibedakan.



Namun setelah MIRA hanya berorientasi ke kelas ekonomi,  justru membuat PO ini mengalami mengalami sedikit kemunduran. Jumlah armada MIRA semakin berkurang. Namun sekitar tahun 2009 MIRA mulai bangkit dari keterpurukan dengan menjual seluruh armada lama non ATB dan mendatangkan sekitar 100 armada baru ber AC (ATB). Persaingan jalur Surabaya – Madiun – Solo – Jogja kelas ekonomi pun kembali ramai. Banyak PO lain yang ikut mendatangkan armada ATB agar bisa bertahan, termasuk di rute/jalur lain. Konsumen pun semakin diuntungkan dengan hal ini karena semakin dimanjakan dengan banyaknya armada baru yang melayani.




Perjalanan panjang Flores yang akhirnya menjadi ke EKA- MIRA menarik untuk disimak dan bisa dijadikan inspirasi untuk kita semua. Sebuah upaya untuk bertahan ditengah kerasnya persaingan dan perkembangan jaman yang menuntut kemampuan membaca situasi, berpikir dan bertindak yang prima. Dan hasilnya tidak sia-sia karena EKA- MIRA merupakan salah satu ikon bis di Jatim, dan akan tetap dan berusaha selalu menjadi kebanggaan Masyarakat Jatim.

Sumber : ekamira.com,ECFC.MM